Tolitoli-lensabidik.online – Korp Karya Praja Indonesia (KKPI) terus memperjuangkan hak 15 Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah, yang diberhentikan tanpa hormat (PTDH). Organisasi ini menilai keputusan PTDH melanggar konstitusi dan asas keadilan, serta mengandung cacat prosedural. Upaya terbaru dilakukan melalui pertemuan dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada 18 Juli 2025, namun BKN menegaskan hanya berperan sebagai pelaksana regulasi, bukan pembuat kebijakan.
KKPI memaparkan empat argumen utama dalam gugatannya:
- Pelanggaran Pasal 28I UUD 1945
Keputusan PTDH dinilai menerapkan retroactive law (hukum yang berlaku surut). Peristiwa hukum yang menjerat 15 PNS terjadi sebelum terbitnya UU ASN No. 5/2014 dan PP No. 11/2017, namun sanksi PTDH justru diberlakukan berdasarkan aturan baru tersebut. Padahal, Pasal 28I UUD 1945 melarang penuntutan dengan hukum yang berlaku surut. - Cacat Prosedur Administrasi
Proses PTDH dianggap mengabaikan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dan BKN tidak melakukan pemeriksaan internal atau evaluasi individu sebelum menerbitkan SK PTDH. Selain itu, PNS yang sama dijatuhi sanksi ganda: pertama berupa sanksi disiplin, lalu PTDH untuk pelanggaran yang sama. - Asas Fiktif Positif yang Diabaikan
Pada 4 Januari 2021, 12 dari 15 PNS mengajukan permohonan pencabutan SK PTDH kepada Bupati Tolitoli selaku PPK. Permohonan tersebut didisposisi dengan instruksi “segera diaktifkan kembali”, tetapi tak kunjung ditindaklanjuti. Menurut Pasal 53 UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, permohonan yang tidak direspons dalam 10 hari dianggap dikabulkan (fiktif positif). - Bertentangan dengan Putusan MK
Dasar PTDH berasal dari putusan pidana korupsi yang menggunakan frasa “dapat menimbulkan kerugian negara” (Pasal 2-3 UU Tipikor). Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan No. 25/PUU-XIV/2016 telah membatalkan frasa tersebut dan menegaskan kerugian harus bersifat nyata (actual loss). KKPI menilai PPK dan BKN lalai menyesuaikan keputusan administrasi dengan putusan MK.
Ke-15 PNS, telah kehilangan penghasilan sejak pemberhentian. KKPI menegaskan, mereka bukan elit politik atau pengusaha, melainkan warga yang “lemah dan terpinggirkan”
KKPI merekomendasikan:
- Tinjau ulang PTDH dengan mempertimbangkan putusan MK dan asas non-retroaktif.
- PPK harus menindaklanjuti permohonan fiktif positif yang dianggap secara hukum telah dikabulkan.
- Evaluasi prosedur PTDH untuk memastikan transparansi dan keadilan.
- Penegakan keadilan substantif sesuai Pancasila dan UUD 1945.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Pemkab Tolitoli atau BKN. Namun, KKPI berencana mengeskalasi kasus ini ke lembaga hukum terkait jika tak ada progres. Penegasan tindak lanjut telah di sampaikan ke Pemda Tolitoli pada tanggal 8 agustus 2015.
“Hukum tidak boleh tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Negara harus hadir untuk warga yang paling lemah,” tegas Kamarudin M. Lasuru, Ketua KKPI Sulteng, dalam rilisnya.
Kasus ini berpotensi menjadi ujian bagi penegakan prinsip due process of law di sektor kepegawaian, terutama terkait penerapan asas lex retro non agit (hukum tidak berlaku surut) dan kepatuhan pada putusan MK, imbuh kamarudin.*(vh)